Thursday, March 31, 2011

Wawancara sama Pak Zaini, penggagas komunitas Hong


Tiga hari sebelum wawancara kami menelpon Pak Zaini, membuat janji, dan beliau bersedia. Tepat hari Minggu sore, kami bertiga (Angga, Farras, dan Yulius) berangkat ke tempat tujuan di kediaman beliau di Jl. Bukit Pakar Utara No. 35. Sayang, kelompok kami tidak hadir semua karena Meira sedang tidak di Bandung.
 
Bermodalkan tekad kami memberanikan diri untuk pergi ke lokasi padahal tak satu pun dari kami yang pernah kesana. Setelah naik beberapa kali angkutan umum, akhirnya kami sampai di depan gerbang rumah beliau. Lokasinya jauh dari jalan raya, terus naik ke daerah atas.

Rasa lega meliputi kami ketika alamat tujuan sudah ditemukan, ketika kami masuk gerbang dan mengucap salam, tidak ada yang menyahut. Berkali-kali kami hubungi telepon rumah beliau tapi tidak ada yang mengangkat, hanya terdengar bunyi dering telepon dari dalam. Ternyata beliau sedang tidak ada di rumah. Tiba-tiba ada seorang nenek yang memberitahu kami kalau Pak Zaini beserta keluarganya sejak pagi memang tidak ada di rumah, dia sedang ada di saung Komunitas Hong yang jaraknya tidak jauh dari rumahnya. Setelah berterimakasih, kami menuju ke tempat yang nenek tadi tunjukkan. Syukurlah beliau ada disana.

Seorang wanita cantik—yang adalah istrinya—menyapa kami sambil berkata, “Ini yang mau wawancara itu, ya?” Kami mengiyakan dan segera dipersilakan duduk. Pak Zaini sedang syuting saat itu, sebuah program televisi. Mencuri sela-sela waktu beliau menghampiri kami dan menjawab dengan antusias setiap pertanyaan yang kami lontarkan. Sesekali ia terfokus pada kedua tangannya menjalin keris-kerisan dari pelepah pisang. Hal itu menimbulkan kesan ia bukan orang dewasa, melainkan terlihat seperti anak kecil.

Berikut hasil wawancaranya.

Tanya   : Pertama, bapak kan mendirikan komunitas Hong ini ya. Tergolong unik lah, soalnya saya belum pernah lihat yang seperti ini. Sedangkan nama Hong sendiri itu diambil dari apa, boleh diceritakan?
Jawab : Nah, tau kan mainan baheula yang namanya ucing sumput? Kata ‘Hong’ diteriakkan oleh si kucing ketika nemu temannya yang sedang sembunyi. Kalau sudah kapanggih kan sudah tidak bisa bermain lagi, sudah diketemukan sama ucingnya. Sama halnya seperti kehidupan. Ketika kita dipanggil oleh Yang Maha Kuasa, permainan kita di dunia selesailah sudah. Filosofinya begitu, Hong itu artinya bertemu, atau lebihnya bertemu dengan Tuhan. Dalam bahasa dunia, ada juga kata hom—Hom Swaswasti, Hom Wilaheng—yang semuanya menjurus kepada hal-hal yang bersifat ketuhanan.
 
Tanya   : Bicara soal permainan kan sepertinya permainan itu dekat sekali dengan bapak. Nah, awal mulanya ketertarikan bapak itu seperti apa?
Jawab  : Ya, saya seneng aja. Waktu kecil kan saya di Subang rumahnya, sering main-main sama teman. Main egrang, main kolecer, bikin wayang-wayangan dari daun sampeu. Wah pokoknya seneng aja. Nah, pas saya kuliah saya menjadikan kajian permainan rakyat itu sebagai objek penelitian, terus ditolak sama dosennya karena penelitian saya itu dianggap tidak punya acuan, padahal setelah saya cari ke museum-museum dan perpustakaan-perpustakaan ketemulah riwayat-riwayat kuno yang isinya macam-macam permainan, peraturannya juga dicantumkan. Nah, dari situ saya termotivasi untuk terus menggali permainan-permainan tradisional. Selain itu karena saya kangen masa kecil juga sih, hehe.
Tanya   : Kalau sekarang kan mainan tradisional itu sudah tidak sepopuler dulu lagi. Banyak yang bilang permainan rakyat itu kalah kelas. Kalau menurut bapak kira-kira penyebabnya apa tuh?
Jawab  : Ya, tersisih lah sama budaya asing. Teknologi sudah canggih, akhirnya permainan tradisional terlupakan. Memang permainan modern itu mengasah motorik dan kreativitas—meskipun tidak semuanya—tapi ada satu poin negatifnya: Sosialisasi. Kalau main PS kan main sendiri-sendiri, duduk saja di depan TV, kalau main berdua terus ada yang kalah, yang kalah itu ngambek, kadang suka sampai musuhan. Kalau permainan tradisional kan tidak begitu. Kalah menang tetap ketawa, gak ada yang marah atau musuhan. Betul kan?
Tanya   : Kehidupan sekarang dengan dulu kan perbedaannya jauh sekali, ya. Tentu masyarakatnya juga berbeda. Bagaimana tanggapan bapak?
Jawab  : Iya, beda. Sekarang kan teknologi itu sudah, wah canggih sekali. Segala aspek kehidupan bergantung sama teknologi. Berbeda dengan zaman dulu, kerja itu bareng-bareng, gotong royong. Sosialisasinya bagus. Kalau masyarakat sekarang kebanyakan sifatnya individualis, sendiri-sendiri. Nah, tujuan dikenalkan mainan tradisional ini agar anak atau orang dewasa juga bisa—selain dikenalkan pada Tuhan—punya jiwa sosialisasi yang kuat. Supaya keharmonisan hidup tetap terjalin.
 Tanya   : Pak Zaini ini kan bisa dibilang cukup ahli soal permainan tradisional. Bapak melakukan penelitian, mencari dari sumber-sumber naskah kuno. Kira-kira sejauh ini temuan bapak yang paling berkesan itu ketika menemukan apa?
Jawab  : Wah dibilang menarik sih semuanya menurut saya menarik. Tapi pernah suatu waktu saya nemu riwayat Amanat Galunggung yang diperkirakan ditulisnya itu abad ke-15. Disitu disinggung hempul. Hempul itu adalah sebutan bagi orang yang ahli membuat mainan, cara memainkannya, sampai tahu filosofinya. Berarti jaman dulu itu permainan tidak dianggap sepele. Permainan itu serius. Tapi sayang mulai tambah kesini hempul semakin langka dan akhirnya punah. Kebanyakan orangtua sesudahnya hanya menyuruh anaknya bermain saja, misalnya main congklak. Ya sudah hanya bermain, tanpa tau arti filosifinya. Akhirnya karena tidak tahu dianggap monoton dan akhirnya tersisihkan.
Tanya   : Kalau cirinya, nih. Apakah ada ciri khusus mainan yang ada di wilayah Sunda?
Jawab  : Mainan yang ada di wilayah Sunda lebih dominan menghasilkan suara. Suara adalah media yanng menyenangkan dan bisa mengisi waktu di kala senggang. Misalnya, fungsi karinding yang bisa dipakai untuk mengusir hama sekaligus untuk menemani di waktu sepi.
Cara memainkannya bisa dipukul, ditiup, digoyangkan, dibanting, diputar, atau menggunakan media lain misalnya angin, air, atau udara. Contohnya, kolecer adalah mainan yang menggunakan media angin.
Ciri lainnya berupa peniruan dari benda, binatang, atau perkakas. Misalnya, kekerisan, dan gogolekan. Nama-nama mainan juga kadang diambil dari suara yang dihasilkan bentuk yang mereka buat. Misalnya, mendengar celetok, maka benda itu disebut bebeletokan. Lalu materialnya. Di masa silam, mainan menggunakan bahan yang dihasilkan alam. Misalnya, membuat bola dari pelepah pisang dan karinding dari sembilu bambu atau pelepah dahan enau.
Tanya   : Bambu juga banyak, ya pak?
Jawab  : Iya, dominan dari bambu. Bambu itu material utama. Kalau masyarakat buhun di Tanah Sunda jaman dulu itu dikenal yang namanya Hujan Silantang. Hujan yang terjadi di akhir musim kemarau setiap lima tahun sekali. Nah, di waktu itu pohon bambu sedang dalam kualitas paling baik untuk ditebang. Masyarakat kemudian menebangnya untuk dibuat perabotan dan sebagiannya lagi dibuat mainan.
Tanya   : Kalau komunitas Hong ini sudah terkenal sekarang, banyak diliput media. Masyarakat juga seperti tadi sudah mulai meminati permainan tradisional. Nah, soal sejarahnya nih pak. Gimana tuh ceritanya?
Jawab  : Berdirinya sudah lama, dari tahun 2003. Seperti pada umumnya berupa gagasan dulu, terus saya ajak beberapa rekan untuk membuat suatu komunitas pengkaji permainan rakyat. Nah, tahun 2004 mulai muncul dan digemari kalangan masyarakat. Sejak itu semakin berkembanglah komunitas ini. Selain disini, pusat kajian mainan rakyat juga ada di Subang, namanya Kampung Kolecer. Daerah kelahiran saya itu, hehe.
Tanya   : Sejauh ini anggotanya sudah bertambah banyak, nih. Kegiatannya itu terbuka untuk umum atau harus jadi membernya dulu? Kan masyarakat juga mulai tertarik dengan permainan rakyat.
Jawab  : Oh, tentu boleh. Masyarakat umum boleh ikutan. Kali waktu kita pernah kedatangan rombongan dari sekolah-sekolah hanya untuk sekedar bermain di sini. Buat jumlah anggotanya memang benar semakin bertambah. Sejauh ini sudah ada lebih dari seratus lima puluh member. Tidak hanya dari masyarakat Jawa Barat saja, bahkan Lampung juga kita ada anggota dari sana.
Tanya   : Terbentuknya komunitas ini mungkin salah satunya adalah untuk mengajak masyarakat, terutama anak-anak untuk mengenal permainan tradisional. Bukan berarti menolak permainan modern dan teknologi, ya. Selain itu apakah ada tujuan lain?
Jawab  : Oh, bukan. Kami sama sekali tidak menolak permainan modern. Kami disini mengkaji dan mengaplikasikannya di kehidupan. Main PS boleh asal diimbangi. Harus, justru harus tahu perkembangan teknogi, harus bisa menggunakannya. Nah, penyeimbangnya itu ya permainan tradisional ini.
Tanya   : Sejauh ini, sudah berapa permainan yang bapak temukan? Dengan metode yang bagaimana?
Jawab  : Kalau di Jawa Barat saja saya sudah menemukan sekitar 260 jenis mainan tradisional. Sebenarnya sih kalau ditanya daerah asalnya setiap mainan itu sama hanya beda namanya saja. Misalnya congklak kita kenal ya namanya congklak saja, kalau di Sulawesi namanya Makaotan. Sebetulnya setiap daerah itu mainannya sama, hanya namanya saja yang berbeda. Begitu. Kalau metodenya saya cari dokumen di museum-museum atau perpustakaan terus saya kunjungi suatu kampung tradisi.
Tanya   : Omong-omong, target apa yang hendak Pak Zaini capai?
Jawab  : Masih ada mainan rakyat Sunda yang belum saya kumpulkan. Setelah terkumpul semua, saya memiliki target untuk mendirikan perkumpulan yang sama seperti Hong di tiap provinsi. Hal ini agar setiap provinsi memiliki mainan rakyat yang bisa ditonjolkan di negeri ini. Bikin museum maenan, ya, kepingin juga.
Tanya   : Terakhir nih, ya Pak. Mungkin ada yang mau bapak sampaikan? Untuk masyarakat Indonesia mungkin, secara umumnya?
Jawab  : Pesan, ada. Saya berharap generasi penerus tetap melestarikan permainan tradisional, jangan lupa sama budayanya. Mainan modern boleh asal diimbangi juga dengan permainan tradisional. Tetap menggali teknologi, bahkan harus. Harus tahu dan bisa. Jadi generasi budiman, dan sekali lagi tidak lupa budayanya.
Demikianlah wawancara kami. Setelah selesai mengambil gambar kami berterimakasih pada Pak Zaini dan beberapa rekannya, setelah itu kami pamit pulang.

Monday, March 21, 2011

Avril Lavigne - What The Hell

You say that I'm messing with your head
All cause I was making out with your friend
Love hurts whether it's right or wrong
I can't stop cause I'm having too much fun

You're on your knees
Begging please
Stay with me
But honestly
I just need to be a little crazy

All my life I've been good,
But now
I'm thinking What The Hell
All I want is to mess around
And I don't really care about
If you love me
If you hate me
You can save me
Baby, baby
All my life I've been good
But now
Whoaaa...
What The Hell

So what if I go out on a million dates
You never call or listen to me anyway
I'd rather rage than sit around and wait all day
Don't get me wrong
I just need some time to play

You're on your knees
Begging please
Stay with me
But honestly
I just need to be a little crazy





All my life I've been good,
But now
I'm thinking What The Hell
All I want is to mess around

And I don't really care about
If you love me
If you hate me
You can save me
Baby, baby
All my life I've been good
But now
Whoaaa...
What The Hell

Lalalala la la
Whoa Whoa
Lalalala la la
Whoa Whoa

You say that I'm messing with your head
Boy, I like messing in your bed
Yeah, I am messing with your head when
I'm messing with you in bed

All my life I've been good,
But now
I'm thinking What The Hell
All I want is to mess around
And I don't really care about
All my life I've been good,
But now
I'm thinking What The Hell
All I want is to mess around
And I don't really care about
If you love me
If you hate me
You can save me
Baby, baby
All my life I've been good
But now
Whoaaa...
What The Hell

Lalalalalalalalalala
Lalalalalalalalala

It's Our Journey

Saat sampai kami digiring pembimbing ke daerah pertambangan Kapur di sekitar Gunung Masigit. Disini kami mencatat poin-poin penting yang disampaikan pembimbing.
  
  . 


            Inilah Gunung Masigit! Ternyata kami sedang berjalan mendekatinya! Gunung itu begitu megahnya menjelang di depan kami, seakan menantang siapa saja yang akan menjajakinya. Tapi perhatikan! Ada sebagian badan gunung yang gundul akibat ditambang—lebih tepatnya dilubangi di sana-sini, diisi dinamit, dan diledakkan—oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Si Masigit ini kami lihat dari Puncak Pawon, keren kan?


             Setelah Gunung Masigit kami lewati, tibalah kita ke tempat selanjutnya : Stone Garden. Sebenarnya, letaknya di Puncak Pawon juga sih, hanya saja kami harus ‘sedikit menanjak’ untuk sampai di tempat ini. Konon, dulunya daratan ini adalah sebuah laut, yang kemudian terangkat ke permukaan. Nah, batu-batuan inilah terumbu karangnya. Sudah mirip Taman Nasional Yosemite, belum?
Beberapa menit disana, kami diharuskan pergi ke tempat selanjutnya. Karena dekat gunung, tanah disana gembur-gembur dan dengan senang hati menempel di pinggir-pinggir sepatu kami, akibatnya kami sering berhenti untuk menggesek-gesekan-nya di batu atau benda keras apa pun yang kami temui (ter-masuk lelehan kerikil kering yang mengeras!)

            Setelah itu kita terus berjalan mendaki—masih di Puncak Pawon loh—hingga berhenti di salah satu tempat berkesan. Bisa dilihat kan, makam yang kami temukan disana. Kata petugas pembimbing dibuatnya makam ini bukan untuk menguburkan seseorang, tapi sebagai bentuk balas jasa penduduk sekitar kepada orang yang telah dianggap berjasa. Tepatnya kami tidak tahu, tapi disinyalir makam ini kosong alias sama sekali tidak ada yang akan ditemukan di dalamnya.
            Di sekitar makam juga kami menemukan batu-batuan yang disusun mengelilingi makam. Satu hal lagi, batuan yang umumnya ditemukan di pegunungan adalah batu gamping, sedangkan tahukah kamu batuan yang mengelilingi makam ini? Batu kali! Secara logis, batu kali tidak mungkin bisa ada di atas gunung. Lagi-lagi pembimbing bilang susunan batuan itu hanya untuk ritual penduduk saja, juga sebagai bukti bahwa sejak saat peletakan batuan itu sudah ada peradaban dan kepercayaan animisme dan dinamisme.



            Kami melanjutkan perjalanan. Perjalan yang satu ini yang paling berkesan bagi kami. Ceritanya begini. Kami terus digiring, dibimbing untuk teruuuuus berjalan naik, menanjak. Dengan jalan datar saja sudah capek, ditambah kali ini jalan yang berlumpur dan menanjak—belum lagi hujan gerimis yang turun rintik-rintik. Kami teruuuuuuuuuuuus menanjak dan menanjak. Akhirnya kita berhenti di satu titik sekitar puncak ‘tanjakan’ ini. Kamera telepon genggam masih bisa kami pegang dan kami mengambil beberapa gambar dari puncak sini.
            Hanya selang lima menit, kami berjalan kembali. Kali ini medannya menurun. Dengan kemiringan yang masih wajar kami dengan sabar menuruni jalan ini. Dengan semak belukar di kanan-kiri kami, ditambah sepatu yang ‘amat ringan’—karena tanah basah dengan senang hati mengikuti, menempel pada alas sepatu kami.
            Kini kemiringannya sudah kami anggap tidak waras. Badan cenderung maju ke depan dan akibatnya jatuh puluhan kali kami alami. “Terus saja ikuti jalannya, nanti kalian akan menemukan tali untuk berpegangan. Hati-hati posisi kalian harus miring, membelakangi boleh juga sih,” kata salah satu pembibing kami. Astaga! Entahlah, mungkin jalan ini tidak akan berujung! Ribuan kali kami mengeluh kapan selesainya jalan ini, tapi pembibing dengan wajah sukacita bilang, “bentar lagi nyampe kok”. Beberapa bentar-lagi-nyampe-kok terus menghibur kami. Hingga akhirnya.....
Syukuuuuuuuuuuuuuur kami ucapkan setelah menemukan pemukiman dan pondok besar di depan kami. Dengan sukacita dan bangga kami berhasil melewati jalan itu. Foto ini garis akhir kami!



            “Syukur, Kak, kita sampai juga. Eh jalan apaan sih itu?”
“Ada ujungnya juga, kan? Oh, itu? Namanya Tanjakan Frustasi.”

Em pantes!

            Kita beristirahat di pondok. (pondoknya tidak kami potret, karena keasyikan makan, sih). Kira-kira satu jam kami duduk di sana, melepas penat dan bercerita lewat sudut pandang masing-masing. Pakaian kami begitu kotor, sepatu kami sudah dekil, dan celana kami tidak berbentuk! Seringkali kami jatuh dan terperosok di Tanjakan Frustasi. “Ada yang lebih kotor dari saya?” nampaknya tidak ada karena semuanya sama, sama-sama cakeutreuk.
            Setelah puas duduk berleha-leha, kami memenuhi panggilan menuju tempat berikutnya, Gua Pawon. Katanya gua ini merupakan tempat tinggal manusia purba, dengan bukti penemuan fosil dan sampah-sampah rumah tangga. Lagi-lagi kami jalan kaki, tapi kali ini jaraknya jauh lebih pendek disbanding sebelumnya.
            Kesan yang timbul ketika memasuki ruang utama gua adalah begitu berharganya udara di luar. Astaga! Disini bau sekali! Gua yang pengap, gelap, dan bau ini pernah dijadikan rumah? Kami bersyukur dilahirkan di era abad 21.
            Ketika menengok ke atas, banyak tergantung kelelawar-kelelawar pemakan buah dan serangga sedang tidur siang. Hewan ini termasuk nokturnal, jadi kebanyakan aktivitasnya dilakukan di malam hari. Ukuran mereka tidak terlalu besar, dan mereka bebas buang kotoran di mana-mana! Di dinding gua, stalaktit, stalakmit, dimana-mana! Jadilah gua ini bau dan pengap.
            Matahari kembali kami temukan setelah memanjat—atau merangkak?—lalu kami menemukan fosil manusia purba yang dikubur meringkuk itu. Fosil itu berupa janin manusia. Tahukah ka-mu fosil itu adalah fosil tiruan alias replika? Fosil aslinya sekarang ada di Balai Arkeo-logi Bandung dan sedang diteliti le-bih lanjut. Konon, manusia itu adalah nenek moyang orang sunda.
                  Kami terus melangkah maju, menemukan satu titik dimana kami bisa melihat Gua Pawon dari arah depan. Di sekitar mulut gua terdapat pohon-pohon tinggi. Dari ukuran-nya yang ramping sampai lebar mengelilingi si Pawon ini. Setelah diberi penjelasan, kami kem-bali ke pondok melewati Gua Pawon lagi—tentu saja! Tidak ada jalan lain—yang artinya kami kembali disambut bau khas yang pertama kami cium tadi. Bedanya, kali ini tidak begitu kaget ketika aromanya sampai ke hidung (karena terbiasa kali ya?).
            Kami kembali ke pondok. Hari sudah siang dan tiba saatnya kita untuk pulang. Sambil menunggu kelompok lain kembali, kami duduk-duduk dan lagi-lagi makan. “Bantu abisin, nih. Biar bawaan gue ringan,” kata Mauren. Oh, dengan senang hati J
            Tiba akhirnya semua kelompok sudah berkumpul. Dari mulai X1 sampai X8. Rombongan SMA 6 akhrinya berjalan menanjak lagi untuk sampai ke jalan raya. Kali ini yang kami lewati sudah berupa pemukiman, tidak lagi pepohonan seperti di gunung tadi. Lelaaaaaaaaaaaah sekali rasanya kami ingin membanting diri saja. Ketika ada truk yang berhenti di depan kami, kami langsung menyerbunya. Kami naik dengan cepat dan posisi satu sama lain tidak beraturan. Sialnya, truk tidak kuat dan kami terpaksa turun, kembali ‘menikmati’ jalan yang panjang lagi. Badan sudah gatal dan lengket karena keringat, ditambah kerongkongan yang tidak bisa kompromi.
            Akhirnya sampai juga di jalan raya. Tinggal menunggu bus. Bus datang, dan kami diantarkan sampai alun-alun Masjid Raya Bandung. Selebihnya kami disibukkan mencari angkot.

Saturday, March 19, 2011

Cerpen Remaja

Kerja ayahku pindah-pindah, otomatis aku juga pindah sekolah sering sekali. Kali ini ayahku bertugas di Ohio, dan ibu sangat suka Ohio. Kami menetap di sini sudah tiga bulan. Aku sekolah di SMP swasta yang letaknya tidak jauh dari rumah. Guru-guru menyukaiku karena aku tergolong anak yang pandai. Setiap hari setidaknya aku bolak-balik ke depan kelas lima kali.
Sebenarnya aku kurang betah disini, banyak anak yang tidak menyukaiku. Mereka bilang aku udik, sok tahu, dan ambisius. Terserah, aku tak peduli apa kata mereka. Toh, aku di sini tidak akan lama. Jalan dua minggu mulai ada cowok yang menggodaku dengan menjambak-jambak rambutku. Sebenarnya itu bukan gangguan, aku tidak merasa risih sama sekali. Namanya David.
Suatu kali ia menjambak rambutku kencang sekali, jadi ikatannya lepas dan rambutku terurai menutupi pundakku. Daviiiiiid! Aku segera berlari mengejarnya, berputar-putar di sekitar tiang sampai kewalahan, sementara David masih tertawa-tawa dan sesekali mengejekku. Daviiiiiiiiiid! Kembali aku mngejarnya setelah mengambil nafas beberapa kali.
Seminggu kemudian…
“Ayo kita jadian”
“Ayo”
Aku senaaaaaaaaang sekali, di umurku yang baru tiga belas ini aku sudah punya pacar. Tapi, belum tentu ibu mengijinkan. Jadi, setiap David mengajakku jalan ke luar rumah, aku selalu sembunyi-sembunyi. Bilang pada ibu aku akan kerja kelompok di rumah salah satu teman. Sebelum berangkat aku mandi lamaaaaaaaa sekali, memakai wangi-wangian, dan menyembunyikan aksesoris di dalam tasku. Jika sudah aman dari pengawasan ibu, aku akan memakainya agar terlihat cantik di depan David.
Sudah lebih setengah tahun aku jadian dengan David, selama itu tak satu pun orang rumah yang tahu. Rahasia ini tersembunyi rapat sekali. Tapi, aku melihat sesuatu dalam mata ibu,tanda tanya yang mengusik.
Tujuh bulan kami tinggal di sini. Hubunganku dengan David masih indah, semuanya baik-baik saja. Tiba-tiba seakan aku dicekoki obat pahit, ayah bilang tugasnya selesai. Artinya kita harus pindah ke kota ayah selanjutnya.
“A-a-ku tidak mau pindah,” kataku terisak di depan ayah.
“Tapi tugas ayah sudah selesai.”
“Aku suka Ohio.”
“Kau bilang tidak suka.”
“Aku suka Ohio, ayah.”
“Tapi kita harus ke Settle.”
“Aku tidak mau!” kataku sambil meninggalkan ruangan, pergi ke kamarku.
Aku terisak di lantai, air mata terus bercucuran dan ayah sudah berhenti menggedor-gedor pintu kamar. Bukan karena Ohio, tapi karena David. Aku cinta David, bukan Ohio! Akhirnya aku mengalah, aku ikuti saja mau ayah.
Di sekolah…
“Wajahmu jelek sekali,” kata David saat kami makan siang.
“Kau benar.”
“Kau ini kenapa sih?”
“Tidak apa-apa,” kataku sambil berusaha tersenyum.
Sebentar lagi aku tidak akan ketemu David, tidak akan ada lagi yang menjambak rambutku di taman belakang sekolah. David maafkan aku. Karena sudah penat, kuputuskan untuk mengirimi David surat. Kutulis beberapa kata di kertas dengan warna merah jambu dengan banyak gambar hati kecil-kecil bertebaran di atasnya. Setelah selesai kumasukkan amplop dengan warna sama, kusemprot dengan parfum ibuku, dan terakhir meninggalkan tanda kecupan merah medok dengan bibirku. Jujur, kupikir ini sedikit memalukan, tapi toh aku tidak akan sekolah disana lagi, jadi tak masalah jika ada siswa lain yang membacanya.
Dua hari sebelum pindah, keluarga kami berkemas. Aku mencuri-curi waktu untuk bertemu dengan Evan di taman kota, menyuruhnya memberikan surat ini pada David saat makan siang pada hari Selasa.
“Ingat, kau tidak boleh membukanya,” kataku sedikit mengancam.
“Lagipula untuk apa?”
“Kau harus memberikannya tepat sepuluh menit sebelum bel makan siang!”
“Iya, aku mengerti.”
“Thanks, Evan.”
Aku tidak nafsu makan, seharian terus-terusan aku memikirkan David. Aku takut dia akan merasa kehilanganku, saat aku jauh nanti. Tiba-tiba sesuatu menyentakku.
“Roselle, coba tebak?” kata ayah.
“Apa?”
“Kita tidak jadi pindah. Kau suka Ohio, bukan?”
Aku salah tingkah, perutku melilit mengingat surat yang kubuat kemarin. “Tapi ayah harus bertugas di kota lain, kan?”
“Ayah kira keluarga lebih penting. Kau bilang sekolahmu menyenangkan dan ayah tahu kau jarang sekali bilang begitu, jadi ayah putuskan kita tidak akan pindah sekarang-sekarang. Ayo, keluarkan kembali barang kalian,” ayah berseri-seri.
Astaga!
Kupukul-pukulkan kepala ke ujung meja belajar. Menyesali perbuatanku yang begitu bodoh. Sialan! Aku akan dipermalukan habis-habisan. Bagaimana ini?
Esoknya aku pergi ke sekolah. Setiap langkah selalu saja aja tiga atau lebih pasang mata mengikutiku. Diiringi senyum sinis tentunya. Sepertinya dugaanku benar. Sampai saatnya aku tiba di depan kelas, disebelah pintu ada mading dan aku membacanya beberapa menit. Artikel tentang apa? Suratku dipajang disana, astaga!
Aku hampir mati karena malu, beberapa anak melingkariku sambil tertawa terbahak, semakin lama semakin banyak. Akhirnya aku menangis, keras.
“David,” aku memanggilnya tapi dia tidak menyahut juga.
“David!” kuulangi dengan suara yang lebih keras.
“David!” kali ini aku setengah berlari mengejarnya.
“Apa?” katanya sedikit membentak. Aku kaget.
“Aku tidak jadi pindah! Bagus kan?”
“Bagus kau bilang?”
“Ya,” kataku ciut.
“Dengar ya Roselle, aku hanya mempermainkanmu. Aku jadian denganmu hanya untuk taruhan dengan gengku. Kau begitu kaku, mana mau aku denganmu.”
“Jadi,”
“Ya,” katanya sambil berlalu. Tak lama, seorang wanita berumur sama denganku menggandeng tangannya.

Sialan! Sudahlah, aku tidak mau lagi mengungkitnya. Tiga hari juga aku sudah bisa melupakannya. Lagipula David itu berengsek! Dari awal memang aku minat dengan Parker, dia lebih tampan.


Dasar remaja!