Saturday, March 19, 2011

Cerpen Remaja

Kerja ayahku pindah-pindah, otomatis aku juga pindah sekolah sering sekali. Kali ini ayahku bertugas di Ohio, dan ibu sangat suka Ohio. Kami menetap di sini sudah tiga bulan. Aku sekolah di SMP swasta yang letaknya tidak jauh dari rumah. Guru-guru menyukaiku karena aku tergolong anak yang pandai. Setiap hari setidaknya aku bolak-balik ke depan kelas lima kali.
Sebenarnya aku kurang betah disini, banyak anak yang tidak menyukaiku. Mereka bilang aku udik, sok tahu, dan ambisius. Terserah, aku tak peduli apa kata mereka. Toh, aku di sini tidak akan lama. Jalan dua minggu mulai ada cowok yang menggodaku dengan menjambak-jambak rambutku. Sebenarnya itu bukan gangguan, aku tidak merasa risih sama sekali. Namanya David.
Suatu kali ia menjambak rambutku kencang sekali, jadi ikatannya lepas dan rambutku terurai menutupi pundakku. Daviiiiiid! Aku segera berlari mengejarnya, berputar-putar di sekitar tiang sampai kewalahan, sementara David masih tertawa-tawa dan sesekali mengejekku. Daviiiiiiiiiid! Kembali aku mngejarnya setelah mengambil nafas beberapa kali.
Seminggu kemudian…
“Ayo kita jadian”
“Ayo”
Aku senaaaaaaaaang sekali, di umurku yang baru tiga belas ini aku sudah punya pacar. Tapi, belum tentu ibu mengijinkan. Jadi, setiap David mengajakku jalan ke luar rumah, aku selalu sembunyi-sembunyi. Bilang pada ibu aku akan kerja kelompok di rumah salah satu teman. Sebelum berangkat aku mandi lamaaaaaaaa sekali, memakai wangi-wangian, dan menyembunyikan aksesoris di dalam tasku. Jika sudah aman dari pengawasan ibu, aku akan memakainya agar terlihat cantik di depan David.
Sudah lebih setengah tahun aku jadian dengan David, selama itu tak satu pun orang rumah yang tahu. Rahasia ini tersembunyi rapat sekali. Tapi, aku melihat sesuatu dalam mata ibu,tanda tanya yang mengusik.
Tujuh bulan kami tinggal di sini. Hubunganku dengan David masih indah, semuanya baik-baik saja. Tiba-tiba seakan aku dicekoki obat pahit, ayah bilang tugasnya selesai. Artinya kita harus pindah ke kota ayah selanjutnya.
“A-a-ku tidak mau pindah,” kataku terisak di depan ayah.
“Tapi tugas ayah sudah selesai.”
“Aku suka Ohio.”
“Kau bilang tidak suka.”
“Aku suka Ohio, ayah.”
“Tapi kita harus ke Settle.”
“Aku tidak mau!” kataku sambil meninggalkan ruangan, pergi ke kamarku.
Aku terisak di lantai, air mata terus bercucuran dan ayah sudah berhenti menggedor-gedor pintu kamar. Bukan karena Ohio, tapi karena David. Aku cinta David, bukan Ohio! Akhirnya aku mengalah, aku ikuti saja mau ayah.
Di sekolah…
“Wajahmu jelek sekali,” kata David saat kami makan siang.
“Kau benar.”
“Kau ini kenapa sih?”
“Tidak apa-apa,” kataku sambil berusaha tersenyum.
Sebentar lagi aku tidak akan ketemu David, tidak akan ada lagi yang menjambak rambutku di taman belakang sekolah. David maafkan aku. Karena sudah penat, kuputuskan untuk mengirimi David surat. Kutulis beberapa kata di kertas dengan warna merah jambu dengan banyak gambar hati kecil-kecil bertebaran di atasnya. Setelah selesai kumasukkan amplop dengan warna sama, kusemprot dengan parfum ibuku, dan terakhir meninggalkan tanda kecupan merah medok dengan bibirku. Jujur, kupikir ini sedikit memalukan, tapi toh aku tidak akan sekolah disana lagi, jadi tak masalah jika ada siswa lain yang membacanya.
Dua hari sebelum pindah, keluarga kami berkemas. Aku mencuri-curi waktu untuk bertemu dengan Evan di taman kota, menyuruhnya memberikan surat ini pada David saat makan siang pada hari Selasa.
“Ingat, kau tidak boleh membukanya,” kataku sedikit mengancam.
“Lagipula untuk apa?”
“Kau harus memberikannya tepat sepuluh menit sebelum bel makan siang!”
“Iya, aku mengerti.”
“Thanks, Evan.”
Aku tidak nafsu makan, seharian terus-terusan aku memikirkan David. Aku takut dia akan merasa kehilanganku, saat aku jauh nanti. Tiba-tiba sesuatu menyentakku.
“Roselle, coba tebak?” kata ayah.
“Apa?”
“Kita tidak jadi pindah. Kau suka Ohio, bukan?”
Aku salah tingkah, perutku melilit mengingat surat yang kubuat kemarin. “Tapi ayah harus bertugas di kota lain, kan?”
“Ayah kira keluarga lebih penting. Kau bilang sekolahmu menyenangkan dan ayah tahu kau jarang sekali bilang begitu, jadi ayah putuskan kita tidak akan pindah sekarang-sekarang. Ayo, keluarkan kembali barang kalian,” ayah berseri-seri.
Astaga!
Kupukul-pukulkan kepala ke ujung meja belajar. Menyesali perbuatanku yang begitu bodoh. Sialan! Aku akan dipermalukan habis-habisan. Bagaimana ini?
Esoknya aku pergi ke sekolah. Setiap langkah selalu saja aja tiga atau lebih pasang mata mengikutiku. Diiringi senyum sinis tentunya. Sepertinya dugaanku benar. Sampai saatnya aku tiba di depan kelas, disebelah pintu ada mading dan aku membacanya beberapa menit. Artikel tentang apa? Suratku dipajang disana, astaga!
Aku hampir mati karena malu, beberapa anak melingkariku sambil tertawa terbahak, semakin lama semakin banyak. Akhirnya aku menangis, keras.
“David,” aku memanggilnya tapi dia tidak menyahut juga.
“David!” kuulangi dengan suara yang lebih keras.
“David!” kali ini aku setengah berlari mengejarnya.
“Apa?” katanya sedikit membentak. Aku kaget.
“Aku tidak jadi pindah! Bagus kan?”
“Bagus kau bilang?”
“Ya,” kataku ciut.
“Dengar ya Roselle, aku hanya mempermainkanmu. Aku jadian denganmu hanya untuk taruhan dengan gengku. Kau begitu kaku, mana mau aku denganmu.”
“Jadi,”
“Ya,” katanya sambil berlalu. Tak lama, seorang wanita berumur sama denganku menggandeng tangannya.

Sialan! Sudahlah, aku tidak mau lagi mengungkitnya. Tiga hari juga aku sudah bisa melupakannya. Lagipula David itu berengsek! Dari awal memang aku minat dengan Parker, dia lebih tampan.


Dasar remaja!

1 comment:

  1. hahahahahaha...... Kirain tadi endingnya gembira ria berbunga-bunga... eh gak tahunya .... tp keren kejutan cerita akhirnya.....

    ReplyDelete