Thursday, March 31, 2011

Wawancara sama Pak Zaini, penggagas komunitas Hong


Tiga hari sebelum wawancara kami menelpon Pak Zaini, membuat janji, dan beliau bersedia. Tepat hari Minggu sore, kami bertiga (Angga, Farras, dan Yulius) berangkat ke tempat tujuan di kediaman beliau di Jl. Bukit Pakar Utara No. 35. Sayang, kelompok kami tidak hadir semua karena Meira sedang tidak di Bandung.
 
Bermodalkan tekad kami memberanikan diri untuk pergi ke lokasi padahal tak satu pun dari kami yang pernah kesana. Setelah naik beberapa kali angkutan umum, akhirnya kami sampai di depan gerbang rumah beliau. Lokasinya jauh dari jalan raya, terus naik ke daerah atas.

Rasa lega meliputi kami ketika alamat tujuan sudah ditemukan, ketika kami masuk gerbang dan mengucap salam, tidak ada yang menyahut. Berkali-kali kami hubungi telepon rumah beliau tapi tidak ada yang mengangkat, hanya terdengar bunyi dering telepon dari dalam. Ternyata beliau sedang tidak ada di rumah. Tiba-tiba ada seorang nenek yang memberitahu kami kalau Pak Zaini beserta keluarganya sejak pagi memang tidak ada di rumah, dia sedang ada di saung Komunitas Hong yang jaraknya tidak jauh dari rumahnya. Setelah berterimakasih, kami menuju ke tempat yang nenek tadi tunjukkan. Syukurlah beliau ada disana.

Seorang wanita cantik—yang adalah istrinya—menyapa kami sambil berkata, “Ini yang mau wawancara itu, ya?” Kami mengiyakan dan segera dipersilakan duduk. Pak Zaini sedang syuting saat itu, sebuah program televisi. Mencuri sela-sela waktu beliau menghampiri kami dan menjawab dengan antusias setiap pertanyaan yang kami lontarkan. Sesekali ia terfokus pada kedua tangannya menjalin keris-kerisan dari pelepah pisang. Hal itu menimbulkan kesan ia bukan orang dewasa, melainkan terlihat seperti anak kecil.

Berikut hasil wawancaranya.

Tanya   : Pertama, bapak kan mendirikan komunitas Hong ini ya. Tergolong unik lah, soalnya saya belum pernah lihat yang seperti ini. Sedangkan nama Hong sendiri itu diambil dari apa, boleh diceritakan?
Jawab : Nah, tau kan mainan baheula yang namanya ucing sumput? Kata ‘Hong’ diteriakkan oleh si kucing ketika nemu temannya yang sedang sembunyi. Kalau sudah kapanggih kan sudah tidak bisa bermain lagi, sudah diketemukan sama ucingnya. Sama halnya seperti kehidupan. Ketika kita dipanggil oleh Yang Maha Kuasa, permainan kita di dunia selesailah sudah. Filosofinya begitu, Hong itu artinya bertemu, atau lebihnya bertemu dengan Tuhan. Dalam bahasa dunia, ada juga kata hom—Hom Swaswasti, Hom Wilaheng—yang semuanya menjurus kepada hal-hal yang bersifat ketuhanan.
 
Tanya   : Bicara soal permainan kan sepertinya permainan itu dekat sekali dengan bapak. Nah, awal mulanya ketertarikan bapak itu seperti apa?
Jawab  : Ya, saya seneng aja. Waktu kecil kan saya di Subang rumahnya, sering main-main sama teman. Main egrang, main kolecer, bikin wayang-wayangan dari daun sampeu. Wah pokoknya seneng aja. Nah, pas saya kuliah saya menjadikan kajian permainan rakyat itu sebagai objek penelitian, terus ditolak sama dosennya karena penelitian saya itu dianggap tidak punya acuan, padahal setelah saya cari ke museum-museum dan perpustakaan-perpustakaan ketemulah riwayat-riwayat kuno yang isinya macam-macam permainan, peraturannya juga dicantumkan. Nah, dari situ saya termotivasi untuk terus menggali permainan-permainan tradisional. Selain itu karena saya kangen masa kecil juga sih, hehe.
Tanya   : Kalau sekarang kan mainan tradisional itu sudah tidak sepopuler dulu lagi. Banyak yang bilang permainan rakyat itu kalah kelas. Kalau menurut bapak kira-kira penyebabnya apa tuh?
Jawab  : Ya, tersisih lah sama budaya asing. Teknologi sudah canggih, akhirnya permainan tradisional terlupakan. Memang permainan modern itu mengasah motorik dan kreativitas—meskipun tidak semuanya—tapi ada satu poin negatifnya: Sosialisasi. Kalau main PS kan main sendiri-sendiri, duduk saja di depan TV, kalau main berdua terus ada yang kalah, yang kalah itu ngambek, kadang suka sampai musuhan. Kalau permainan tradisional kan tidak begitu. Kalah menang tetap ketawa, gak ada yang marah atau musuhan. Betul kan?
Tanya   : Kehidupan sekarang dengan dulu kan perbedaannya jauh sekali, ya. Tentu masyarakatnya juga berbeda. Bagaimana tanggapan bapak?
Jawab  : Iya, beda. Sekarang kan teknologi itu sudah, wah canggih sekali. Segala aspek kehidupan bergantung sama teknologi. Berbeda dengan zaman dulu, kerja itu bareng-bareng, gotong royong. Sosialisasinya bagus. Kalau masyarakat sekarang kebanyakan sifatnya individualis, sendiri-sendiri. Nah, tujuan dikenalkan mainan tradisional ini agar anak atau orang dewasa juga bisa—selain dikenalkan pada Tuhan—punya jiwa sosialisasi yang kuat. Supaya keharmonisan hidup tetap terjalin.
 Tanya   : Pak Zaini ini kan bisa dibilang cukup ahli soal permainan tradisional. Bapak melakukan penelitian, mencari dari sumber-sumber naskah kuno. Kira-kira sejauh ini temuan bapak yang paling berkesan itu ketika menemukan apa?
Jawab  : Wah dibilang menarik sih semuanya menurut saya menarik. Tapi pernah suatu waktu saya nemu riwayat Amanat Galunggung yang diperkirakan ditulisnya itu abad ke-15. Disitu disinggung hempul. Hempul itu adalah sebutan bagi orang yang ahli membuat mainan, cara memainkannya, sampai tahu filosofinya. Berarti jaman dulu itu permainan tidak dianggap sepele. Permainan itu serius. Tapi sayang mulai tambah kesini hempul semakin langka dan akhirnya punah. Kebanyakan orangtua sesudahnya hanya menyuruh anaknya bermain saja, misalnya main congklak. Ya sudah hanya bermain, tanpa tau arti filosifinya. Akhirnya karena tidak tahu dianggap monoton dan akhirnya tersisihkan.
Tanya   : Kalau cirinya, nih. Apakah ada ciri khusus mainan yang ada di wilayah Sunda?
Jawab  : Mainan yang ada di wilayah Sunda lebih dominan menghasilkan suara. Suara adalah media yanng menyenangkan dan bisa mengisi waktu di kala senggang. Misalnya, fungsi karinding yang bisa dipakai untuk mengusir hama sekaligus untuk menemani di waktu sepi.
Cara memainkannya bisa dipukul, ditiup, digoyangkan, dibanting, diputar, atau menggunakan media lain misalnya angin, air, atau udara. Contohnya, kolecer adalah mainan yang menggunakan media angin.
Ciri lainnya berupa peniruan dari benda, binatang, atau perkakas. Misalnya, kekerisan, dan gogolekan. Nama-nama mainan juga kadang diambil dari suara yang dihasilkan bentuk yang mereka buat. Misalnya, mendengar celetok, maka benda itu disebut bebeletokan. Lalu materialnya. Di masa silam, mainan menggunakan bahan yang dihasilkan alam. Misalnya, membuat bola dari pelepah pisang dan karinding dari sembilu bambu atau pelepah dahan enau.
Tanya   : Bambu juga banyak, ya pak?
Jawab  : Iya, dominan dari bambu. Bambu itu material utama. Kalau masyarakat buhun di Tanah Sunda jaman dulu itu dikenal yang namanya Hujan Silantang. Hujan yang terjadi di akhir musim kemarau setiap lima tahun sekali. Nah, di waktu itu pohon bambu sedang dalam kualitas paling baik untuk ditebang. Masyarakat kemudian menebangnya untuk dibuat perabotan dan sebagiannya lagi dibuat mainan.
Tanya   : Kalau komunitas Hong ini sudah terkenal sekarang, banyak diliput media. Masyarakat juga seperti tadi sudah mulai meminati permainan tradisional. Nah, soal sejarahnya nih pak. Gimana tuh ceritanya?
Jawab  : Berdirinya sudah lama, dari tahun 2003. Seperti pada umumnya berupa gagasan dulu, terus saya ajak beberapa rekan untuk membuat suatu komunitas pengkaji permainan rakyat. Nah, tahun 2004 mulai muncul dan digemari kalangan masyarakat. Sejak itu semakin berkembanglah komunitas ini. Selain disini, pusat kajian mainan rakyat juga ada di Subang, namanya Kampung Kolecer. Daerah kelahiran saya itu, hehe.
Tanya   : Sejauh ini anggotanya sudah bertambah banyak, nih. Kegiatannya itu terbuka untuk umum atau harus jadi membernya dulu? Kan masyarakat juga mulai tertarik dengan permainan rakyat.
Jawab  : Oh, tentu boleh. Masyarakat umum boleh ikutan. Kali waktu kita pernah kedatangan rombongan dari sekolah-sekolah hanya untuk sekedar bermain di sini. Buat jumlah anggotanya memang benar semakin bertambah. Sejauh ini sudah ada lebih dari seratus lima puluh member. Tidak hanya dari masyarakat Jawa Barat saja, bahkan Lampung juga kita ada anggota dari sana.
Tanya   : Terbentuknya komunitas ini mungkin salah satunya adalah untuk mengajak masyarakat, terutama anak-anak untuk mengenal permainan tradisional. Bukan berarti menolak permainan modern dan teknologi, ya. Selain itu apakah ada tujuan lain?
Jawab  : Oh, bukan. Kami sama sekali tidak menolak permainan modern. Kami disini mengkaji dan mengaplikasikannya di kehidupan. Main PS boleh asal diimbangi. Harus, justru harus tahu perkembangan teknogi, harus bisa menggunakannya. Nah, penyeimbangnya itu ya permainan tradisional ini.
Tanya   : Sejauh ini, sudah berapa permainan yang bapak temukan? Dengan metode yang bagaimana?
Jawab  : Kalau di Jawa Barat saja saya sudah menemukan sekitar 260 jenis mainan tradisional. Sebenarnya sih kalau ditanya daerah asalnya setiap mainan itu sama hanya beda namanya saja. Misalnya congklak kita kenal ya namanya congklak saja, kalau di Sulawesi namanya Makaotan. Sebetulnya setiap daerah itu mainannya sama, hanya namanya saja yang berbeda. Begitu. Kalau metodenya saya cari dokumen di museum-museum atau perpustakaan terus saya kunjungi suatu kampung tradisi.
Tanya   : Omong-omong, target apa yang hendak Pak Zaini capai?
Jawab  : Masih ada mainan rakyat Sunda yang belum saya kumpulkan. Setelah terkumpul semua, saya memiliki target untuk mendirikan perkumpulan yang sama seperti Hong di tiap provinsi. Hal ini agar setiap provinsi memiliki mainan rakyat yang bisa ditonjolkan di negeri ini. Bikin museum maenan, ya, kepingin juga.
Tanya   : Terakhir nih, ya Pak. Mungkin ada yang mau bapak sampaikan? Untuk masyarakat Indonesia mungkin, secara umumnya?
Jawab  : Pesan, ada. Saya berharap generasi penerus tetap melestarikan permainan tradisional, jangan lupa sama budayanya. Mainan modern boleh asal diimbangi juga dengan permainan tradisional. Tetap menggali teknologi, bahkan harus. Harus tahu dan bisa. Jadi generasi budiman, dan sekali lagi tidak lupa budayanya.
Demikianlah wawancara kami. Setelah selesai mengambil gambar kami berterimakasih pada Pak Zaini dan beberapa rekannya, setelah itu kami pamit pulang.

No comments:

Post a Comment