Sunday, April 3, 2011

Ingat?

 “Mungkin kau akan sedikit terkejut. Siapa aku? Coba kau tebak? Tapi kurasa kau tak ingat aku. Jadi, biarlah saja sampai kau tahu sendiri. Yang jelas aku ini temanmu, yang sewaktu kau SMU adalah teman sekelasmu. Tapi ketika itu jumlah perempuan ada dua puluh satu murid. Sedikit, kan?

Begini ya, aku punya cerita. Dulu, aku tak sengaja melihatmu dari pinggir. Ketika itu kau sedang ada di balkon depan kelas, menekuk kedua sikumu, dan memandang ke bawah. Kau ingat? Ketika itu anak IPS sedang melakukan hal bodoh. Ingat?

Kau tahu apa yang kupikirkan saat itu? Aku pikir kau tidak terlalu buruk—bahkan keren! Hanya saja kau hitam. Haha, maaf ya.

Sebelumnya aku berpikir kau itu sangat menjengkelkan, begitu berantakan, dan… memalukan. Bagaimana tidak? Setiap Senin kau selalu ada dalam barisan orang-orang terlambat, yang berada di luar gerbang sekolah saat upacara. Kau juga sering tidur di kelas, dan mentelantarkan tugas-tugasmu, semua peermu, tidak ada satupun yang kau kerjakan di luar sekolah! Belum lagi main dengan teman asramamu, melempar-lempar nasi sisa makan siang. Astaga! Bagaimana bisa aku menyukaimu?

Tapi, mungkin remaja memang begitu—mudah kagum, atau apa. Tapi juga, entah kenapa aku bisa melihatmu seperti itu. Seperti kau anak baru yang bermasalah saja. Ya, aku penasaran denganmu.

Lalu, entah bagaimana. Seakan pucuk yang dicinta malah ulam yang tiba. Aku punya nomor teleponmu, tanpa minta pada siapa pun. Malah kau yan mengirimiku pesan duluan! Nah, sekarang kau ingat siapa aku?

Lalu, selama empat bulan kemudian kita berteman. Berkomunikasi lewat kirim-mengirim pesan tanpa pernah bertegur sapa selama empat bulan itu—habis aku malu kalau harus menyapamu duluan! Lalu, kau menyapaku. Aku masih ingat kata pertama yang kau katakan: “Sombong, euy. Si jelek sombong.”
Lalu aku tercengang, jujur aku tak tahu kalau kau yang bicara. Kan aku hanya lewat di depanmu, dan ketika itu kita sedang musuhan. Ingat? Lalu kau tersenyum, membuat  jantungku berdegup kencang sekali (untung jarak kita sudah jauh, sekitar sepuluh jengkal, jika tidak kau bisa mendengarnya, dan aku bisa mati konyol). Aku amat senang, kau tahu?

Oh, ya. Dan sebelumnya—ketika kau belum pernah menyapaku—sekolah mengadakan porak. Kau main tenis meja, kan? Dan kau kalah karena menurutmu temanmu main tidak bagus, kau menyalahkan temanmu. “Gara-gara Dennis, jadi tim kita kalah. Padahal aku sudah main bagus sekali. Gara-gara dia, sumpah,”  begitu katamu. Kau bilang begitu lewat pesan, bahkan ketika kita hanya berjarak  enam meter! Ingat?

Tapi, meskipun kita begitu dekat, kita tidak sampai jadian. Lagipula, aku tak ingin dulu pacaran. Pacaran tidak akan berguna ketika kau sedang dalam proses belajar. Iya, kan? Tapi, kau sempat mengaku cemburu jika aku dekat dengan teman priaku. Padahal ketika itu kami hanya mengobrol soal tugas kelompok! Kau mengungkapkan itu lewat pesan. Ya, kau selalu mengirimiku pesan setiap sepuluh menit sekali.

Oh, ya. Kau pernah bilang kau ini atlit kecelakaan. Maksudnya kau jadi atlit bukan maumu. Iya, kan? Ketika itu kau mengirimiku pesan setiap jam setengah sepuluh malam. Kau bercerita tentang asramamu yang begitu tidak menyenangkan. Tentang kalian—para atlit muda—seringkali berdemo jika tidak diberi uang saku. Dan akhir-akhirnya kalian dimarahi pengurus juga. Dan ketika itu kau mengeluh untuk berhenti. Kau menyerah, kau ingin berhenti jadi atlit. Kukatan tidak boleh begitu, kau ingat? Kukatakan asrama itu seru, tidak sepi seperti keadaan rumahku setiap hari. Kau itu beruntung, jadi jangan menyerah.

Ya, kau sering mengeluh. Kau sering jatuh juga. Kau sering menabrak tempat sampah yang ada di depan kelas, kau sering diserempet motor ketika kau berjalan terlalu ke samping di trotoar, kau sering cedera ketika latihan, kau sering, sering sekali mengeluhkannya dan bercerita padaku. Entah itu berlebihan atau apa. Tapi aku senang mendengar ceritamu. Kau begitu terbuka dan menyenangkan—sekaligus misterius. Aku pernah bilang begitu, kau ingat? Dan kau selalu memanggilku ‘jelek’ padahal kau sendiri gosong. Dan kita selalu berdebat soal apa pun. Soal bola, soal kaos, soal guru-guru, soal tugas sekolah. Hingga suatu saat kita bertengkar hebat dan kau tak pernah mengirimiku pesan lagi.

Ah, tak terasa sudah dua puluh tahun sejak kejadian yang terakhir itu. Kau begitu berbeda sekarang. Dulu aku suka matamu yang tajam. Kau begitu menawan, seperti patung buatan seniman yang  dipahat hati-hati. Kau tinggi, begitu besar, apalagi jika aku melihatmu ketika kita sedang bersebelahan—secara sengaja.

Tapi kini kau begitu lemah. Kau banyak berubah. Matamu jadi gelap, dan lenganmu tak sekekar dulu. Punggungmu tidak setegap dulu juga. Lalu Noi menelponku untuk datang ke sini, menengokmu sebagai teman lama. Oh, entah bagaimana dia bisa tidak menghilangkan nomor rumahku sementara kontak terakhir kita sudah lama sekali. Dan ini aku, datang karena kutahu kau pasti sedang tidak beres, kau sakit apa sih? Oya, aku juga kaget bisa ketemu kau lagi! Di Bandung ini siapa yang pernah kau kenal selain aku dan Noi?”

Sebelas detik hening. Dan ia mulai bicara.

“Juli, kau tahu sesuatu? Aku yang meminta Noi menghubungimu dan aku ingat semuanya. Semua saat kau berumur lima belas dan aku enam belas, ketika aku begitu bodoh soal matematika.”

“Syukurlah. Lalu mana keluargamu? Mana istrimu?” kataku antusias.

Sepuluh detik hening.

“Aku… belum menikah,” kata Rangga yang terbaring di depanku, yang sejak tadi kuceritakan semuanya.

“Belum menikah?”

Delapan detik hening.

“Ya.”

Dua belas detik hening.

“Jadi, yang mana punyamu?” katanya lagi sambil memalingkan wajah ke dua orang anak balita di depannya.

“Yang mana?” kataku sedikit tidak paham.

“Ya, yang mana punyamu?” ulangnya.

“Tentu saja mereka semua anak-anakku,” kataku bangga.

“Ya, itu... bagus.”

Tak lama air mata bergulir di pipinya yang tak sekencang dulu itu, tapi air mukanya tidak menampakan perubahan apa pun. Ekspresi mukanya tetap datar.

“Kenapa kau menangis?” kataku salah tingkah.

“Seharusnya—mereka—anak-anakku juga,” ia berkata perlahan. Amat pelan sampai aku tak bisa mendengarnya, dan aku tercengang.




You were always gonna be my love and you should know
Even if I fall in love with somebody else
I'll remember to love you taught me how
You were always gonna be the one
and for now, I'll still be singing this love song
for... Somebody like you, my first love

Boys II Men – First Love

No comments:

Post a Comment