Friday, August 26, 2011

Cerpen gak ada judulnya

“Daus, ingat tidak ketika itu pertemuan pertama kita? Di tempat parkir di ujung jalan itu. Waktu itu aku mau mundurkan motor tapi sulit sekali. Tiba-tiba kau datang, membantuku menariknya dari belakang, sementara aku pegang setirnya,” kata Rai sambil menunjuk asal ke depan mukaku.

***

Teriknya matahari tidak membuatku berhenti berusaha. Siang bolong begini mana boleh malas-malasan. Kalau malas tidak bisa pergi ke Turki. Jadi terus kugas si hijau, motor kesayanganku. Kuantar surat-surat ini dengan teliti, jangan sampai ada yang terlewat. Meskipun dibayar rendah, lumayan lah untuk tambah-tambah biaya kuliah. Tahu kan di zaman modern ini e-mail makin populer.

Sebelum kumasukkan surat, aku setengah teriak dulu : surat!! Entahlah, tidak wajib sih hanya saja aku terbiasa. Ketika tiba di Jalan Kenanga nomor 43 pun begitu, aku teriak dulu.

“Suraaaat!!”
“Woi mba, biasa aja! Mau bikin orang budek?”
“Maaf!”

Pria ini orang baru atau apa? Setiap hari kan aku memang begitu, setiap hari pula kuantar surat ke sini. Sudahlah, tidak perlu dipikirkan.

***

“Woi, Daus!”
“Eh, Dan. Apaan?”
“Udah buat ringkasannya kan?”
“Ringkasan apaan?”
“Buat presentasi kita ntar siang.”
“Oh, udah.”
“Hafalkan ya, gue takut. Pasalnya gue belum paham bener materinya.”
“Tenang aja pasti saya sama yang lain bantu.”
“Oh, iya iya. Ngingetin doang, Us.”
“Oke.”

Aku Daus, Ramadhan Firdaus. Sekarang sedang sibuk kuliah semester pertama di Universitas swasta di Bandung. Umur masih 19 tahun, gender : perempuan. Perempuan? Firdaus? Haha iya nama saya Firdaus dan saya seorang perempuan kelahiran Subang, Jawa Barat. Awalnya banyak teman yang tidak menyangka kalau saya perempuan. Menurut mereka KTP saya salah ketik atau bagaimana. Tapi ya memang begitu, nama saya Firdaus.

“Kasiin si Daus, nih!”
“Daus mana?”
“Daus mana lagi? Yang rambutnya gondrong.”
“Oh,iya iya.”

Ada berkahnya kan? Daus yang rambutnya gondrong cuma ada satu. Cewek pula.

***

“Gini ya, yang kalah kudu pacaran sama Daus.”

Haha, kalimat di atas seriiiiiing sekali saya dengar (atau baca?). Secara tidak langsung, tentu. Lewat wall teman di facebook atau di twitter. Guyonan mereka itu awalnya menyakitkan, tapi lama-lama terbiasa juga sih. Mereka menjadikanku taruhan, sebagai bencana yang akan ditimpakan pada orang yang sangat tidak beruntung. Tidak apa-apa, untuk main-main saja kok.

“Daus tuh ya pertama diraguka kelaminnnya. Dia itu cewek apa cowok? Kalau cewek tuh kudunya anggun, kaya Meegan Henry. Rambutnya kudu panjang dan rajin sisiran. Kedua dia itu jorok jarang mandi. Liat aja banjunya kucel dan itu-itu aja. Udah gitu sering banget ngupil tiba-tiba kalau lagi ngobrol. Udah dapet kalo gak disentil dileletin ke meja. Ih jorok banget, kan? Terus tempat tinggalnya tuh gak jelas. Kadang tidur di kosan temennya, si Eka, kadang tidur di lab!! Kacauuuuuu orangnya!!! Kok lo mau sama dia?”

Teman pacar saya memang iseng. Menanyakan hal yang tidak perlu begitu. Yang pacaran kan saya sama Rai, ngapain mereka yang repot. Untung Rai orang baik, dia tidak menghiraukan mereka. Rai cuma nanya balik, “Terus?” . Dan mereka semuanya langusng bungkam.

***

“Us, jalan yok,” ajak Rai.
“Gak bisa, lagi ada kerja. Ntar aja ya, Rai,” kataku sambil menghidupkan motor dan segera berlalu. Apa yang terjadi di belakang? Tidak tahu. Tapi kurasa Rai agak marah.

Begitulah, tiap Rai ajak aku selalu kesulitan. Satu sisi aku takut Rai sampai marah. Tidak enak rasanya. Tapi bagaimana? Surat-surat ini tidak bisa sampai dengan sendirinya ke alamat tujuan.

Aku terus melaju tanpa memikirkan hal lain. Rai, nanti sajalah kubujuk dia. Mengajaknya makan atau nonton. Meski begini, aku nyaman dengan Rai. Dia cowok cuek yang melihat cewek dari..dari sisi apa aku tak tahu. Yang jelas dia berbeda dengan kebanyakan pria.

Aku terus melaju. Hmmm.. lampu merah masih jauh, tapi kendaraan sudah mulai terhenti. Bandung.

***
“Rai, halooo?” kataku dari sebrang telepon. Kutelpon Rai jam sembilan malam.
“Hmmm,” jawaban dari sebrang.
“Rai jalan yok,” nadaku dibuat seceria mungkin.
“Lo dimana?”
“Di bunderan depan Miko.”
“Yudah tunggu, gue kesana.”

Aku mengunggu kedatangan Rai. Nanti akan kuajak dia nonton FF 5. Sebenatnya aku sudah nonton sih, ditraktri Eka yang baru jadian dengan Fajar. Karena seru, kurasa Rai akan suka. Oh ya, aku belum cerita, ya? Kalau aku jalan dengan Rai tidak ada scene bonceng-boncengan. Aku bawa motor, Rai juga. Sering sekali Rai memintaku untuk tidak bawa-bawa motor ketika kami baru dua minggu pacaran, katanya ia bisa mengantarku kemana saja. Kubilang Rai saja yang tidak usah bawa motor tapi ia tidak mau. Ia bilang perempuan tidak harus bawa motor. Lalu kubilang aku amat butuh motor. Intinya tidak ada yang mau mengalah.

Mataku berbinar ketika kulihat Rai berjalan. Celananya yang robek-robek itu, rambutnya yang agak bergelombang, matanya yang cokelat dan meneduhkan. Tuhan, benar kan dia pacarku?

Kami berdua berjalan berdampingan, setelah sebelumnya memarkirkan motor di parkir area terdekat. Niatnya mau cari makan. Ah, kami temukan sepasan kursi, dengan satu meja kecil di tengah.

“Rai, mau gak nonto..nn..”
“Gak, gue kesini mau ngomong,” kata Rai memotong kataku.

“Kriiiiiinggg, kriiiiiiiingg,” hp zaman batuku bunyi, segera kutekan tombol off.

“Iya, apa?” kataku.
“Kita putus.”

Putus? Entahlah bagaimana mendeskripsikannya. Sesuatu dalam dadaku retak. Suaranya memilukan. Kurasakan mataku pedas. Ayolaah, jangan menangis di depan pria!!

“Putus? Alasannya, Rai?” kataku sambil sedikit tertawa. Dusta paling besar : berusaha tertawa. Tapi Rai hanya menggeleng.

“Ngaca,” katanya.

Oke, oke aku akan bercermin. Nanti kalau di rumah. Aku akan bercermin lama, seperti maumu.

Tanpa basa-basi, kuraih kunci motor di atas meja dengan gesit sampai helmku terjatuh dan menggelinding agak jauh. Kuraih dengan sedikit berlari, dan berlari betulan menuju motorku. Kuhidupkan hp dan menyempilkannya di kepalaku, diapit oleh helm yang sebelumnya kukenakan dengan kasar. Tak dapat dibendung, aku menangis. “Ya, halo Pak In.”

***
Gosip langsung menyebar. Berita aku putus dengan Rai langsung menjadi Trending Topic di kampus. Sampai ada yang membuat artikel segala di mading. Cuek sajalah.

“Daus, lo putus sama Rai?”
“Iya,” kataku sambil melampiaskan nafsu pada hotdog besar di tangan.
“Seriusan?”
“Iya, Eka.”
“Muncrat! Kalo ngomong makanannya telen dulu ngapa?” kata Eka sambil mengelus blus merah mudanya. Ketus.
“Lu lagi bego, liat kan lagi makan? Malah diajak ngobrol,” kataku sedikit lebih ketus.

Sahabatku itu, Eka, memang sedikit bodoh. Tapi cantik. Kalau aku kumal, tapi otakku agak berisi. Kita kombinasi yang mendekati sempurna. “Daus sama Eka,” Eka yang bilang.

***
“Wah, Rai, dari dulu kek! Kebuka juga mata lo?” Bima bertanya padaku. Kalau Daus dengar, bisa habislah Bima ditinjunya. Tidak kujawab tapi pertanyaan Bima ini, tidak perlu. Aku hanya tersenyum.

“Rani, cantik, pinter, tajir. Kenapa lo milih si Daus dulu, Raiiiiiiiiiii?”
“Gak usah lo ungkit lagi, bisa?” kataku ketus, berharap cukup untuk membungkam mereka.

Daus, maaf.

***
Sekarang aku di sini, di depan cermin. Mataku sembap. Apa aku menangis saat tidur? Separah itukah? Tidak, aku tidak menangis. Ya, hanya sibuk mencari materi kemarin yang sempat tertinggal. Begadang. Sampai sangaaaaaaaaaaaaaaat malam. Lalu aku ketiduran. Itu saja. Apa aku sedang menghibur diri? Apa aku bebohong tadi? Iya.

Yang pertama mataku sembap. Kemarin-kemaring mungkin tidak. Yang permanen adalah kulit kuning langsat dari ibu, komedo yang banyak di hidung, jerawat kecil-kecil di jidat. Itu mukaku. Rambutku..hmmm.. agak kusut, sedikit kecokelatan. Tidak berponi, panjangnya sebahu. Apa yang salah? Tubuhku.. kurus. Kurasa setiap minggu aku menyusut. Kecapekan. Pakaianku..keren. jeans ketat abu-abu dengan sedikit sobek di lutut sebelah kanan. Bukan modelnya, memang robek waktu aku jatuh dari motor dua bulan lalu. Kaos tangan panjang polos, warna biru donker. APA YANG HARUS KUUBAAAAAAAAAAAAAH? Aku nyaman dengan semuanya. Sepatuku, tanganku, kulitku, rambutku, jaket kulit, tas selempang mungil, semuanya tak ada yang membuatku tidak nyaman. Maksudmu apa, Rai?

***
Sebulan berlalu, gosip itu perlahan hilang. Aku memang sudah berkali-kali mengalami yang seperti ini. Tidak di kampus, di lingkungan rumah. Jika tetangga mengoceh soal ayah, aku tidak ambil pusing. Kuabaikan semuanya, itu lebih baik. Dan gosipnya hilang dengan sendirinya. Betapapun keras usaha mereka membuat kekacauan, akan terasa mudah dilewati jika kita abaikan. Begitu juga dengan gosip kemarin.

Eka berlari ke arahku, sambil menggandeng Fajar. Aku melihatnya dari jauh, dengan mata agak sensi.

“Fajar, sampai sini aja ya. Makasih udah antar Eka. Dah Fajar,” kata Eka sambil mendorong Fajar menjauh.
“Si bego, ngapain lo tarik dia kesini, tadi?”
“Gak ada waktu. Lo tau gak apa?”
“Apa?”
“Rai masuk RS!”
“Ya, terus?” kataku acuh.
“Hiiiiih! Lo kudu tengok!”
“Gak mau. Ngapain?”
“Harus, Us! Yok gue anter, gue tau dimana dia dirawat.”

Sembunyikan rasa penasaranmu, sembunyikan, jangan tunjukkan. Jangan tanya Rai sakit apa. Acuh saja.

***
“Ehm,Us, gue balik dulu ya. Fajar nelpon gue barusan,” kata Eka gugup.
“Gak, lo diem disini,” kataku agak galak. Kuaduk-aduk kolong meja, mencari bahan bacaan.
“Tapi Fajar udah nelpon gue dari tadi. Yayaya?”
“Terus gue disini, gitu. Nemenin si Rai ini di sini iya? Lo yang bawa gue kesini, Eka tujuan lo apa?”
“Gak ada, ya lo tungguin aja si Rai, sampe bangun.”
“Gak, gue mau balik,” kataku sambil bangkit dari sofa.
“Gak boleeeh.”

Kudengar suara desahan. Kuhampiri Rai, kudekatkan telingaku ke dekat mulutnya.

“Dah Daus gue balik,ya,” kata Eka sambil membanting pintu. Hentakan high heels nya semakin menjauh.

Aku disini, Rai.

***
“Kamu sakit apa, sih?”
“Gak tau,” kata Rai, memandang ke langit-langit.
“Terus keluargamu mana?”
“Gak tau.”
“Hey, Rai. Di atas ada apa sih?” kataku sambil ikut-ikutan memandang langit-langit rumah sakit yang kosong.
“Gelap.”

Gelap? Apa maksudmu? Semua sulit kucerna, belum, belum bisa kucerna maksudnya. Jantungku berdegup kencang, membuatku berkeringat di dahi banyak sekali. Matahari sedang terik bagaimana bisa kamu bilang ini gelap?

***
“Nak Rai ini habis kecelakaan. Kepala bagian depannya menabrak trotoar,” kata dokter menjelaskan. “Dik Daus ini siapanya Rai?”
“Sepupunya,” kataku singkat.
“Oh, iya. Sudah dua hari Rai dirawat disini yang nengok baru Dik Daus saja. Tolong sampaikan sama orangtua Rai. Dan ini,” dokter menyodorkan seberkas surat pembayaran “daftar biaya yang harus ditebus. Totalnya sudah tertera. Paling lambat ditebus dua minggu kemudian. Ya, mungkin hanya ini saja yang bisa saya jelaskan pada Dik Daus. Selebihnya mungkin Dik Daus sendiri sudah mengetahui.”

***
Sekarang kami di sini, di bunderan depan Miko. Rai sekarang sudah mau kubonceng, dia tidak bawa motor lagi.

“Kau sudah tau aku kerja jadi tukang pos?” kataku sambil menggenggam tangan Rai.
“Iya,” katanya sambil tersenyum.
“Tau dari mana?”
“Tau saja.”
“Kenapa tidak tanya aku saja?”
“Tidak perlu. Atau perlukah?”
“Ya,” kataku.
“Oke, jadi kau kerja apa? Selama ini kau susah sekali kuajak jalan.”
“Aku kerja jadi tukang pos. Ayahku tidak bisa diandalkan, ibuku pergi entah kemana.”
“Aku sudah tau,” katanya sambil tersenyum lagi. “Lalu kenapa kau mau jadi pacarku?”
“Tidak tahu,” kataku sambil makin erat menggenggam tangan Rai. Udara sore kali ini sedikit lebih dingin.
“Kau harus jawab. Tadi pertanyaanmu sudah kujawab.”
“Perlukah?”
“Ya.”
“Tapi aku memang tidak tahu. Bagaimana?”
“Cinta tidak butuh kata ‘karena’ ya?”
“Iya kali. Cinta itu apa?”
“Tidak tahu.”

Dan sore itu kita berdua tertawa. Entah apa yang kami tertawakan. Di sela tawa itu aku sedikit menitikkan air mata. Bahagia atau malah sedih sekali. Rai sekarang tidak bisa melihat. Kecelakaan itu merenggut fungsi dua mata cokelat miliknya. Tapi mata itu masih terlihat indah, fungsinya saja yang hilang.

“Daus, ingat tidak ketika itu pertemuan pertama kita? Di tempat parkir di ujung jalan itu. Waktu itu aku mau mundurkan motor tapi sulit sekali. Tiba-tiba kau datang, membantuku menariknya dari belakang, sementara aku pegang setirnya,” kata Rai sambil menunjuk asal ke depan mukaku.

“Bagaimana kau tahu itu tempat parkir?” kataku sambil sedikit tertawa.

“Aku tahu saja.”

Tuesday, August 23, 2011

The Alchemist bukan The Alchemyst

hoaduuuuuuuuuuh udah lama pisan gak posting. Yah, maklum lah baru balik dari pencarian jati diri. Selama Ramadhan teh ada aja pengalaman spiritual yang saya dapat, yang datangnya--tentu saja--tak terduga-duga.

jadi saya teh..suka sama orang. terus-terus??!! gak nyambung ya?? hmmm kalo dipikir-pikirmah blog teh gak mutu pisan. Masa isinya curhaaaaaaaaaaaat terus..

kali ini mah enggak, gak akan curhat. Saya mau merekomendasikan novel yang--menurut sayamah--simpel dan sarat makna filosofis. filosofis teh apa? gak tau biar agak kerenan ajalah.

judulnya The Alchemist karangan Pak Paulo Coelho. Pak Coelho ini lahir di Brazil puluhan tahun silam. Beliau udah nerima pernghargaan banyak dari karyanya : si Alchemist ini, tapi sayang menurut negara asalnya sendiri novel ini kurang dihargai karena terlalu sederhana. Gak tau lah ya..

Oh iya, the Alchemistnya Pak Coelho punya kembaran. Judulnya sama percis hanya beda penulisannya aja. The Alchemyst karya Michael Scott. Kalau yang ini mah gak tau belum pernah baca.

awalnya tau buku ini dari LKS bahasa Inggris. Disinggung nama Paulo Coelho gitu, berarti lumayan terkenal kaaaan..

taraaaaaaaaaaaa...



jujur, awalnya gak niat beli ni buku. Berhubung buku yang saya carinya gak ada yaudah duitnya saya perbolehkan buat beli sesuatu yang lain (buku lain maksudnya). Sampul depan si buku gak begitu menarik, cenderung kaya cerita anak-anak jadinya. bikin minat berkurang. tapi berhubung udah nemu nya beli weh..

Saya akan bercerita sedikit tentang buku ini. Simpel? Ya, amat simpel. Tapi menurut Nafta, teman saya buku ini tuh susah dipahami, butuh waktu lama untuk paham tiap paragrafnya. Tapi menurutku enggak gitu. Memang terkadang membosankan bacanya, tapi gak bakalan rugi deh setelah tau endingnya. Tiba-tiba mikir gimanaaa gitu.

Sinopsis? oke oke.. tapi gak akan semua deh biar penasaran kalian.

Seorang remaja namanya Santiago, berasal dari Spanyol. Dia punya rutinitas sehari-hari yakni menggembalakan domba. Lewat yang dideskripsikan Pak Coelho, Santiago ini sedikit urakan, tapi kritis. Ia sudah berkelana ke padang-padang di tanah Andalusia untuk sekedar memberikan rumput segar buat domba-dombanya.

setelah dombanya berbulu lebat ia akan pergi ke kota dan menjual bulu-bulu itu ke seorang saudagar. Satu tahun sekali. Nah, dia ingat tahun kemarin ketika ia menjual bulu domba ke saudagar yang sama, dia ketemu sama putri sang saudagar. Jatuh cinta intinamah ya gak usah berbelit-belit.

suatu hari Santiago mimpi aneh. Berulang-ulang pula. Mimpinya itu berhubungan dengan Piramid. Piramid kan jauh adanya di Mesir. Terus Santiago datang ke seorang Gypsi untuk mengartikan mimpinya itu. eh eh, sebelumnya dia ketemu dengan seorang tua yang mengaku raja. Raja Salem!!! Negri antah-berantah lah itumah gak tau ada beneran apa enggak. Ternyata raja tua itu adalah sesuatu. entah dia itu apaan pokoknya bisa berubah-rubah wujud. Tujuannya adalah memberi bantuan kepada orang yang sedang dalam perjalanan meraih mimpinya.

Pokoknya gitu deh, dengan bantuan tidak langsung dari raja tua itu Santiago berhasil meraih mimpinya--yang sesungguhnya amat dekat dan bukan di Piramid.

Alchemist = ahli kimia
terus kenapa judulnya The Alchemist?

Iya, Santiago itu disuruh menemui Sang Alkemis yang bisa merubah benda apapun jadi emas. Yang katanya begitu ia bertemu dengan sang ahli kimia ia akan dapat bantuan amaaaaaaaat besar.

Oya, setelah googling seabad diketahui kalau iman Pak Coelho ini adalah Katolik. Lah tapi di karya-karyanya selalu diselipkan nilai-nilai Islam. Contohnya di The Alchemist ini dijelaskan rukun Islam dan perilaku terpuji Nabi. Waaaaaaoooo ada apa ya??

Sempat tau juga kalo katanya Paulo Coelho ini punya pandangan religius sendiri. Lewat karya-karyanya bisa saya simpulkan sendiri dia seorang beragama, meski dia sendiri berpendapat kalau agama itu hanya media atau fasilitas. Katanya kita bisa memuja Tuhan lewat berbagai cara, tidak selalu harus dengan agama. Dia juga bilang bahwa lewat Islam tuh seakan lebih mudah untuk kenal Tuhan dibanding agama-agama yang lain. Maksudnya apa ya mana saya tau :D

nah, karena saya kesemsem sama buku beliau, jadilah saya beli karya beliau satu lagi. Sekarang lagi saya baca jadi gak boleh dulu dipinjamkan. judulnya : Witch of Portobello. Witch itu bukan arti sebenarnya, lagi-lagi pak Coelho gak menggunakan arti harfiah. Lawong tokohnya itu wanita biasa aja yang populer dan sama sekali bukan penyihir.

jadi intinya apa??

Intinya saya mau promosi. Baca buku bagus ini ya kalo sempat :D

Monday, August 22, 2011

hmmmmm aku suka-sukaan

ee ehmm.. Tuhan sedang apa?
Tuhan, tau tidak aku sedang suka seseorang?
Hihihi, aku malu mengakuinya.
Tapi menurutmu bagaimana?
Apakah boleh aku suka sama seorang ikhwan di usiaku ini?
Aku baru 16 tahun lhooo :D

Tuhan, normal tidak aku tidak suka sinetron?
Remaja seusiaku sekarang sedang gandrung dengan sinetron.
Kalau aku lebih suka drama Korea sih.

Tuhan, dia ikhwan yang pintar.
Kata temanku dia aktif di kelas, sering bertanya.
Namanya diawali dengan kata "Muhammad".
Bagaimana?

Tuhan pasti tahu apa yang kulakukan kalau kelas bubar.
Aku akan pura-pura bingung dan berdiri di balkon depan kelas.
Memandang lurus ke arah jam 11 dari sana.
Itu kelasnya.
Tapi dia selalu keluar lama.

Tuhan tau kan?
Kali ini aku bisa menyukai ikhwan normal.
Sebelumnya aku suka sama ikhwan pemalas.
Sebelumnya lagi sama seorang protestan.
Kali ini dia seorang normal, Tuhan :D

Tuhan, kalau diizinkan aku mau dekat dengan dia.
Tapi aku juga takut hal itu akan membuatku lupa sama Tuhan.
Gimana baiknya saja, semuanya terserah Tuhan.
Bukan mau mengatur ya, Tuhan :D