Saat sampai kami digiring pembimbing ke daerah pertambangan Kapur di sekitar Gunung Masigit. Disini kami mencatat poin-poin penting yang disampaikan pembimbing.
Inilah Gunung Masigit! Ternyata kami sedang berjalan mendekatinya! Gunung itu begitu megahnya menjelang di depan kami, seakan menantang siapa saja yang akan menjajakinya. Tapi perhatikan! Ada sebagian badan gunung yang gundul akibat ditambang—lebih tepatnya dilubangi di sana-sini, diisi dinamit, dan diledakkan—oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Si Masigit ini kami lihat dari Puncak Pawon, keren kan?
Setelah Gunung Masigit kami lewati, tibalah kita ke tempat selanjutnya : Stone Garden. Sebenarnya, letaknya di Puncak Pawon juga sih, hanya saja kami harus ‘sedikit menanjak’ untuk sampai di tempat ini. Konon, dulunya daratan ini adalah sebuah laut, yang kemudian terangkat ke permukaan. Nah, batu-batuan inilah terumbu karangnya. Sudah mirip Taman Nasional Yosemite, belum?
Beberapa menit disana, kami diharuskan pergi ke tempat selanjutnya. Karena dekat gunung, tanah disana gembur-gembur dan dengan senang hati menempel di pinggir-pinggir sepatu kami, akibatnya kami sering berhenti untuk menggesek-gesekan-nya di batu atau benda keras apa pun yang kami temui (ter-masuk lelehan kerikil kering yang mengeras!)
Setelah itu kita terus berjalan mendaki—masih di Puncak Pawon loh—hingga berhenti di salah satu tempat berkesan. Bisa dilihat kan, makam yang kami temukan disana. Kata petugas pembimbing dibuatnya makam ini bukan untuk menguburkan seseorang, tapi sebagai bentuk balas jasa penduduk sekitar kepada orang yang telah dianggap berjasa. Tepatnya kami tidak tahu, tapi disinyalir makam ini kosong alias sama sekali tidak ada yang akan ditemukan di dalamnya.
Di sekitar makam juga kami menemukan batu-batuan yang disusun mengelilingi makam. Satu hal lagi, batuan yang umumnya ditemukan di pegunungan adalah batu gamping, sedangkan tahukah kamu batuan yang mengelilingi makam ini? Batu kali! Secara logis, batu kali tidak mungkin bisa ada di atas gunung. Lagi-lagi pembimbing bilang susunan batuan itu hanya untuk ritual penduduk saja, juga sebagai bukti bahwa sejak saat peletakan batuan itu sudah ada peradaban dan kepercayaan animisme dan dinamisme.
Kami melanjutkan perjalanan. Perjalan yang satu ini yang paling berkesan bagi kami. Ceritanya begini. Kami terus digiring, dibimbing untuk teruuuuus berjalan naik, menanjak. Dengan jalan datar saja sudah capek, ditambah kali ini jalan yang berlumpur dan menanjak—belum lagi hujan gerimis yang turun rintik-rintik. Kami teruuuuuuuuuuuus menanjak dan menanjak. Akhirnya kita berhenti di satu titik sekitar puncak ‘tanjakan’ ini. Kamera telepon genggam masih bisa kami pegang dan kami mengambil beberapa gambar dari puncak sini.
Hanya selang lima menit, kami berjalan kembali. Kali ini medannya menurun. Dengan kemiringan yang masih wajar kami dengan sabar menuruni jalan ini. Dengan semak belukar di kanan-kiri kami, ditambah sepatu yang ‘amat ringan’—karena tanah basah dengan senang hati mengikuti, menempel pada alas sepatu kami.
Kini kemiringannya sudah kami anggap tidak waras. Badan cenderung maju ke depan dan akibatnya jatuh puluhan kali kami alami. “Terus saja ikuti jalannya, nanti kalian akan menemukan tali untuk berpegangan. Hati-hati posisi kalian harus miring, membelakangi boleh juga sih,” kata salah satu pembibing kami. Astaga! Entahlah, mungkin jalan ini tidak akan berujung! Ribuan kali kami mengeluh kapan selesainya jalan ini, tapi pembibing dengan wajah sukacita bilang, “bentar lagi nyampe kok”. Beberapa bentar-lagi-nyampe-kok terus menghibur kami. Hingga akhirnya.....
Syukuuuuuuuuuuuuuur kami ucapkan setelah menemukan pemukiman dan pondok besar di depan kami. Dengan sukacita dan bangga kami berhasil melewati jalan itu. Foto ini garis akhir kami!
“Syukur, Kak, kita sampai juga. Eh jalan apaan sih itu?”
“Ada ujungnya juga, kan? Oh, itu? Namanya Tanjakan Frustasi.”
Em pantes!
Kita beristirahat di pondok. (pondoknya tidak kami potret, karena keasyikan makan, sih). Kira-kira satu jam kami duduk di sana, melepas penat dan bercerita lewat sudut pandang masing-masing. Pakaian kami begitu kotor, sepatu kami sudah dekil, dan celana kami tidak berbentuk! Seringkali kami jatuh dan terperosok di Tanjakan Frustasi. “Ada yang lebih kotor dari saya?” nampaknya tidak ada karena semuanya sama, sama-sama cakeutreuk.
Setelah puas duduk berleha-leha, kami memenuhi panggilan menuju tempat berikutnya, Gua Pawon. Katanya gua ini merupakan tempat tinggal manusia purba, dengan bukti penemuan fosil dan sampah-sampah rumah tangga. Lagi-lagi kami jalan kaki, tapi kali ini jaraknya jauh lebih pendek disbanding sebelumnya.
Ketika menengok ke atas, banyak tergantung kelelawar-kelelawar pemakan buah dan serangga sedang tidur siang. Hewan ini termasuk nokturnal, jadi kebanyakan aktivitasnya dilakukan di malam hari. Ukuran mereka tidak terlalu besar, dan mereka bebas buang kotoran di mana-mana! Di dinding gua, stalaktit, stalakmit, dimana-mana! Jadilah gua ini bau dan pengap.
Kami kembali ke pondok. Hari sudah siang dan tiba saatnya kita untuk pulang. Sambil menunggu kelompok lain kembali, kami duduk-duduk dan lagi-lagi makan. “Bantu abisin, nih. Biar bawaan gue ringan,” kata Mauren. Oh, dengan senang hati J
Tiba akhirnya semua kelompok sudah berkumpul. Dari mulai X1 sampai X8. Rombongan SMA 6 akhrinya berjalan menanjak lagi untuk sampai ke jalan raya. Kali ini yang kami lewati sudah berupa pemukiman, tidak lagi pepohonan seperti di gunung tadi. Lelaaaaaaaaaaaah sekali rasanya kami ingin membanting diri saja. Ketika ada truk yang berhenti di depan kami, kami langsung menyerbunya. Kami naik dengan cepat dan posisi satu sama lain tidak beraturan. Sialnya, truk tidak kuat dan kami terpaksa turun, kembali ‘menikmati’ jalan yang panjang lagi. Badan sudah gatal dan lengket karena keringat, ditambah kerongkongan yang tidak bisa kompromi.
Akhirnya sampai juga di jalan raya. Tinggal menunggu bus. Bus datang, dan kami diantarkan sampai alun-alun Masjid Raya Bandung. Selebihnya kami disibukkan mencari angkot.
No comments:
Post a Comment